Rabu, 29 Mei 2013

Ansyaad Mbai Diduga Kuat Dalang Aksi Teror


Ansyad
Antara Suriah dan Pilkada (Ansyaad Mbai Harus Mengaca Diri)
Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA)
BNPT dalam isu terorisme kembali membuat forum untuk mencari simpati dari negara-negara sahabat. Langkah ini tampak saat Ansyaad Mbai (Kepala BNPT) mengkomunikasikan dihadapan sekitar 150 orang dari negara sahabat dalam sebuah acara briefing tentang terorisme di Indonesia bertempat di Shangrila Hotel, Jakarta, Senin (27/5/2013) dari jam 09.00-13.00 wib.
Bagi saya yang menarik adalah statemen Mbai dengan menempatkan konflik di Suriah berpotensi menjadi pemicu aksi teror di Indonesia.
Di media online dengan tegas Ansyaad menyatakan;”…pemicu aksi teror di Indonesia saat ini sebetulnya tidak semuanya berasal dari isu-isu sensitif dalam negeri, seperti pemilu 2014. Namun aksi internasional yang bersinggungan dengan kelompok terorislah yang dijadikan alasan.
“Bisa-bisa masalah di Suriah, penguasa Syiah yang memberontak mayoritas Suni, itu bisa diangkat jadi isu mereka dijadikan alasan mereka di sini. Dan bibit-bibit itu ada, seperti di sini itu ada di Sampang. Jadi semua gampang sekali picu aksi mereka,” beber Ansyaad.(Liputan6.com;27/05/2013 15:54)
Dalam tulisan ini (dari elaborasi CIIA) saya ingin mengajak masyarakat belajar tentang fakta dan makna teror/teroris dari kasus Pilkada di Buton Utara-Sulawesi Tenggara dimana istri Kepala BNPT Ansyaad Mbai di duga kuat terlibat bahkan menjadi aktor intelektual aksi-aksi teror paska kekalahan Pilkada.

Dalang Aksi Teror 
Tanggal 25 Juni 2011 tahun lalu merupakan hari kelam bagi masyarakat Buton Utara (Butur). Saat itu terjadi kerusuhan hingga pembakaran Kantor Bupati dan kantor DPRD Butur yang dilakukan sekelompok massa pro wilayah Buranga.
Bukan itu saja, mobil pemadam kebakaran yang seyogyanya ingin memadamkan api, justru ikut dibakar massa.
Beberapa hari sebelumnya, massa pro Buranga itu juga membakar mobil dinas Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) di Desa Ronta Kecamatan Bonegunu.
Harusnya pembakaran fasilitas negara yang dibangun dengan uang rakyat itu tidak terjadi, andai saja aparat kepolisian bertindak tegas. Apalagi massa yang melakukan pembakaran sejumlah kantor itu hanya berjumlah 100 orang

Istri Ansyaad Mbai, diduga kuat aktor intelektual Aksi-Aksi Teror paskah kekalahan PILKADA

Timbul pertanyaan, siapa aktor dibalik itu, yang mampu “menjinakan” aparat kepolisian? Bahkan, aparat berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) pun dalam hal ini Kapolres Muna dibuat tidak berk
Kejadian itu menimbulkan  kecurigaan masyarakat banyak dan dari berbagai pihak yang fokus mengamati kasus ini. Dan kesimpulannya mengarah kepada mantan calon Bupati Butur, Hj. Sumarni Ansyaad Mbai sebagai “aktor intelektual”.
Hal itu sangat beralasan, karena ada indikasi kuat; usai melakukan aksi pembakaran, sekelompok massa itu berkumpul di kediaman Hj. Sumarni di Kelurahan Bangkudu, Kecamatan Kulisusu.
 Ada dugaan anak dr ketua BNPT Ansyaad Mbai sebagai makelar pengadaan di BNPT Proyek2 pengadaan di BNPT juga dimakelarin oleh DB (Dewinta Barbie). Sdh terkenal sbg broker pengadaan di TNI dan Polri.utik selaku penanggung jawab keamanan di wilayah Butur.
Inggris nyumbang perangkat internet dan IT gratis untuk BNPT. Namun olh pejabat2 dibebankan ke APBN .Ada pengeluaran Rp 18M utk operasi intelijen fiktif dana BNPT yg duitnya disetujui oleh Sesmenko Polkam.
Mengapa Ansyaad Mbai msh maen2 proyek di BNPT? Ini krn dia banyak utang utk membiayai istrinya nyalon jd bupati buton, namun kalah.

Citra Polisi yang Jauh dari Kepentingan Masyarakat

Kerusuhan Ambon dan Citra Polisi yang Jauh dari Kepentingan Masyarakat

Inseden 25 Juni 2011 lalu bukan
hanya pembakaran sejumlah
fasilitas negara, tetapi juga
terjadi “perang” antar
kelompok pendukung Buranga
dan masyarakat Kulisusu. “Perang” itu terjadi hanya
beberapa meter dari Kantor
Polsek Kulisusu.

Perang antar kelompok ini

dilakukan dihadapan aparat
kepolisian berlangsung sekitar
dua jam. Senjata yang digunakan
beraneka ragam, seperti busur,
bambu runcing, batu dan pedang serta benda-benda tajam lainnya.
Malah aparat terkesan ada
“keberpihakan”, ini terlihat
saat iring-iringan kendaraan
sekelompok massa itu menuju
Kecamatan Kulisusu. Tidak ada
upaya aparat kepolisian untuk menghalau massa, padahal jarak
antara Buranga ke Kulisusu
sekitar 60 kilo meter. Lagi pula
ada tiga Polsek yang mesti dilalui,
yakni Polsek Bonegunu, Kulisusu
Barat dan Kulisusu. Timbul pertanyaan, siapa aktor
dibalik itu, yang mampu
“menjinakan” aparat
kepolisian? Bahkan, aparat
berpangkat Ajun Komisaris Besar
Polisi (AKBP) pun dalam hal ini Kapolres Muna dibuat tidak
berkutik selaku penanggung
jawab keamanan di wilayah
Butur. AKBP R Wawan Irawan SH,
kepada sejumlah wartawan
mengakui saat terjadi aksi
pembakaran kantor Bupati Butur,
aparat kepolisian ada ditempat.
Jelas pernyataan itu melukai perasaan masyarakat Butur.
Harusnya, aparat kepolisian bisa
menciptakan rasa aman di
tengah-tengah masyarakat dan
melindungi fasilitas negara, justru
hanya menjadi penonton kerusuhan.
Dalam aturan baru
(2010) untuk polisi yakni protap
tembak di tempat, berbagai perilaku kekerasan dan kesewenang-
wenangan, protap baru (tembak
di tempat) ini malah
menempatkan polri sebagai
institusi kekerasan berstatus
resmi.
“Ini tidak sesuai dengan
slogan polisi masyarakat. pada
kenyataannya, polisi semakin
terpisah dan anti terhadap
masyarakat.

Copot Polisi Kristen Pembantai Umat Islam .



Yusniar, Perempuan Petani Tewas Ditembak Aparat Brimob Kepolisian 
 Korban Penembakan

Maaf Pak Polisi, Kami Belum [Bisa] Percaya Kalian!!!

Apa yang harus dilakukan Polri?

Sama sekali rakyat tidak percaya kepada polisi.  rakyat tidak percaya. Rakyat satu suara: Anda penipu. Ini terlihat dari argumen-argumen yang keluar dari mulut mereka. Sangat jelas bahwa semua itu rekayasa dan rasionalisasi.
Apa yang dilakukan oleh para petinggi Polri ini jelas-jelas merusak citra institusi polisi itu sendiri. Amat sangat disayangkan bahwa citra polisi yang sudah rusak dan jelek di mata masyarakat malah justru semakin dirusak lagi. Dan ironisnya, yang merusakkan citranya itu adalah polisi sendiri. Tingkat kepercayaan masyarakat pada polisi semakin terjun bebas.
Dan disayangkan juga bahwa polisi sepertinya tidak menyadari hal ini. Malah mereka sibuk membela diri dan membuat argumentasi yang konyol dan bodoh. Mereka berpikir bahwa rakyat Indonesia masih bodoh dan mudah dibodohi.
Sikap membela diri dengan argumentasi konyol dan bodoh juga terlihat dari komentar-komentar pengamat dan pembela polisi, seperti Bapak SisnoAdiwinoto. Apa yang sering dilontarkannya, baik di media cetak maupun di media eletronik, jelas-jelas membuat dirinya bukan sekedar pembela polisi, melainkan sebagai penjilat polisi..

Selasa, 14 Mei 2013

Mengenal Sosok Intelijen Anti-Islam



ALI MOERTOPO, ARSITEK PEMBERANGUS GERAKAN ISLAM


Ali Moertopo. Meski Muslim, dalam karir intelijen dan militernya ia dikenal sebagai arsitek pemberangus gerakan Islam Ia menggunakan siasat "Pancing dan Jaring" untuk memberangus gerakan Islam. Umat Islam disusupi dan dipancing untuk bertindak ekstrem, setelah itu dijaring untuk diberangus atau dikendalikan.Ia menjadikan umat Islam sebagai lawan, bukan kawan. Untuk memuluskan misinya, ia berkolaborasi dengan kelompok anti-Islam, di antaranya kelompok Serikat Jesuit, kejawen, dan para pengusaha naga yang menjadi pilar kekuatan Orde Baru. Mereka tak hanya mengebiri kekuatan Islam secara politik, tetapi juga memarjinalkan perekonomian umat Islam.

Hampir semua posisi dan karir yang didudukinya, berkaitan dengan upaya menyingkirkan peranan umat Islam dan memberangus gerakan Islam. saat menjabat sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus), lembaga yang dikenal angker pada saat itu, Ali Moertopo banyak melakukan upaya-upaya penyusupan (desepsi, penggalangan dan pemberangusan gerakan Islam).

Siasat "Pancing dan Jaring" digunakan oleh Moertopo untuk menyusup ke kalangan Islam, melakukan pembusukan dengan berbagai upaya provokasi, kemudian memberangusnya. Operasi intelijen tersebut pada saat ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Densus 88, sebuah detasemen yang juga dikendalikan oleh musuh-musuh Islam, dengan tujuan yang sama. Beberapa peristiwa seperti Komando Jihad, tragedi Haur Koneng, penyerangan Polsek Cicendo, Jamaah Imran, dan Tragedi pembajakan pesawat Woyla, tak lepas dari siasat licik Moertopo. Stigma "ekstrem kanan" yang ditujukan kepada umat Islam dan "ekstrem kiri" yang ditujukan kepada anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga hasil dari kerja intelijen Moertopo.

Umat Islam dipancing, kemudian dijaring dan diberangus. Sebagian yang tak kuat iman, dikendalikan kemudian digalang untuk bekerjasama dengan penguasa. Pada peristiwa Komando Jihad misalnya, simpatisan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII), dipropaganda dan dimobilisasi oleh Ali Moertopo untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman Komunis dari Utara (Vietnam). Ali Moertopo kemudian mendekati beberapa orang tokoh DI, yaitu Haji Ismail Pranoto, Haji Danu Muhammad Hassan, Adah Djaelani, dan Warman untuk menggalang kekuatan umat Islam, yang memang sangat memendam luka sejarah terhadap komunisme.

Setelah ribuan umat Islam termobilisasi di Jawa dan Sumatera, dengan siasat liciknya, Moertopo kemudian menuduh umat Islam akan melakukan tindakan subversif dengan mendirikan Dewan Revolusi Islam lewat sebuah organisasi "Komando Jihad (KOMJI)". Mereka kemudian digulung dan dicap sebagai "ekstrem kanan". Istilah "Komando Jihad" muncul pada tahun 1976 sampai 1982. Selain KOMJI, rekayasa intelijen juga terlihat jelas dalam kasus Jamaah Imran, Cicendo, dan pembajakan pesawat DC-9 Woyla. Jamaah Imran adalah kumpulan anak-anak muda yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein, pria asal Medan. Aktivitas kelompok yang didirikan pada 7 Desember 1975 ini berpusat di Bandung, Jawa Barat.

Inilah yang kata Soemitro disebut sebagai teori "Pancing dan Jaring", dimana umat Islam dirangkul (dibina, pen) terlebih dahulu, lalu dikipasi untuk memberontak, baru kemudian ditumpas 
Untuk memuluskan langkah-langkah politik Islamophobia, kelompok militer anti-Islam yang dikomandoi oleh Ali Moertopo, oknum pengusaha etnik Cina, Serikat Jesuit, dan pejabat sekular-kejawen, mendirikan sebuah lembaga think tank bernama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1 September 1971, bermarkas di Tanah Abang III, Jakarta Pusat. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani (penasihat kebatinan Soeharto) menjadi sosok yang berada di belakang CSIS. Lembaga ini kemudian membuat masterplan pembangunan Orde Baru yang sangat menguntungkan pemerintah, pengusaha etnik Cina dan kelompok Kristen.

Sementara umat Islam dianggap sebagai bahaya yang mengancam, yang bercita-cita mendirikan negara Islam. Mereka masih menjadikan isu "Darul Islam" sebagai jualan untuk memberangus gerakan Islam. Selain pula mewaspadai kebangkitan Islam politik yang pada masa lalu direpresentasikan melalui kekuatan Partai Masyumi. Kelompok Kristen dan oknum pengusaha etnik Cina yang merapat ke militer, meyakinkan pemerintah dan tentara, bahwa jika umat Islam berkuasa, maka akan terjadi diktator mayoritas, dimana penegakan syariat Islam akan diberlakukan.

Ali Moertopo melakukan lobi politik kepada Presiden Soeharto untuk memanggil Benny ke Jakarta agar ditempatkan dalam jajaran penting di militer. Keseriusan Ali Moertopo untuk menempatkan kadernya dalam posisi strategis di elit militer terlihat dengan menelepon langsung Benny yang saat itu berada di Korea Selatan. Kemudian, dengan diantar sendiri oleh Ali Moertopo, Benny menghadap langsung ke Soeharto. Oleh penguasa Orde Baru itu Benny diserahi jabatan sebagai Ketua G-I Asisten Intelijen Hankam yang bertugas mengendalikan seluruh intelijen di Angkatan Darat dan Polri.

Selain itu, Benny juga ditugaskan untuk membantu Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Jika 'Mengenal Sosok Intelijen Anti-Islam' di bagian sebelumnya mengungkap sosok Ali Moertopo, di bagian ketiga ini menyingkap kader atau penerusnya Ali Moertopo, yaitu Benny Moerdani yang juga dikenal sangat memusuhi umat Islam. Benny diduga berada di balik tragedi berdarah Tanjung Priok, 1984. Pada masanya, militer Indonesia pernah dilatih di Israel.

Raut wajahnya keras dan kaku. Terkesan angker dan tak bersahabat. Itulah Leonardus Benjamin "Benny" Moerdani, sosok jenderal militer pada masa Orde Baru yang dikenal sangat benci Islam dan kaum Muslimin. Benny Moerdani adalah orang kepercayaan Ali Moertopo. Benny sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Moertopo untuk menggantikannya dalam menjalankan tugas mengawasi bahaya "ekstrem kanan", yang tak lain adalah gerakan Islam.

Di kalangan tentara Muslim, Benny Moerdani dikenal sangat tidak aspiratif terhadap kelompok Islam. Almarhum mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Ka-BAKIN), Letjend TNI Z.A Maulani pernah mengatakan, pada masa Benny Moerdani menjadi panglima ABRI, sangat sulit mendapatkan masjid atau mushalla di komplek dan barak-barak militer.

Keberadaan tempat ibadah umat Islam tersebut dikontrol begitu ketat. Bahkan, pada masa itu banyak tentara Muslim yang tidak berani mengucapkan "Asssalamu'alaikum" ketika berada di lingkungan militer.

Benny pernah melontarkan pernyataan kontroversial yang melarang umat Islam mengucapkan salam. Dalam sebuah rapat kabinet bidang Polkam, Jaksa Agung Ali Said pernah dibentak oleh Benny karena mengucapkan "salam" dalam rapat tersebut. "Indonesia bukan negara Islam, tak perlu ucapkan salam," bentaknya saat itu.

Benny Moerdani dilibatkan dalam menangani intelijen Kopkambtib dan diangkat menjadi Ketua Satuan Tugas Intelijen, sebuah lembaga yang dikenal sangat angker dan ditakuti pada masa Orde Baru.
Para ulama, khatib, mubaligh dan aktivis Islam pernah merasakan bagaimana bengisnya lembaga ini dalam memosisikan Islam sebagai ancaman dan lawan. 

Benny Moerdani yang pernah terlibat dalam operasi menumpas DI/TII dan PRRI/Permesta tidak bisa membuang persepsi negatif terhadap gerakan Islam, sehingga menjadikan Islam sebagai ancaman yang membahayakan keutuhan NKRI. Berbeda dengan Ali Moertopo yang kerap pamer kekuasaan, Benny justru dikenal sebagai sosok yang misterius dan penuh rahasia. Meski sama-sama haus kekuasaan, Bennyi bermain "cantik" untuk menjalankan obesesinya tersebut. Sebagai orang yang malang melintang di dunia intelijen, segala tindakan ia perhitungkan dengan matang dan sangat tertutup. Bahkan ihwal tentara yang sering kali di latih di Israel pun, pada masa Benny Moerdani tidak terungkap, tertutup rapat.

Benny juga dikenal lihai dalam mendekati kelompok Islam yang pernah memendam kekecewaan dengan Masyumi. Ia melakukan politik belah bambu dengan mendekati kiai dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU), dan menginjak kelompok lain yang berseberangan dengan NU.

Pertentangan antara NU sebagai kelompok tradisionalis Islam dengan kelompok Masyumi sebagai santri modernis ia pertajam. Karenanya, Benny kerap bersafari dari pesantren ke pesantren NU dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk melakukan politik pecah belah tersebut. Safari bersama dilakukan Benny dan Gus Dur di tengah kecaman umat Islam yang menuntut Benny bertanggung jawab dalam tragedy pembantaian umat Islam Tanjung Priok, di Jakarta pada 12 September 1984. Saat peristiwa Priok, Benny sedang berada di Jakarta. Bahkan pada tengah malam usai tragedi pembantantaian, Benny sudah berada di lokasi kejadian.

Pada dini harinya ia langsung meluncur ke rumah sakit dan sempat menghitung jumlah mayat yang tergeletak di rumah sakit. Anehnya, sampai akhir hayatnya, Benny Moerdani sama sekali tidak tersentuh hukum dalam tragedi berdarah ini.

Leonardus Benny Moerdani meninggal di Jakarta, pada 29 Agustus 2004 dalam usia 72 tahun, karena menderita stroke. Kepergiannya mendapatkan penghormatan yang luar biasa di kalangan militer. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Bendera setengah tiang selama tujuh hari dikibarkan di lingkungan militer.

Setelah Moerdani tiada, siapakah sosok intelijen anti Islam yang menggantikannya?