Antara Suriah dan Pilkada (Ansyaad Mbai Harus Mengaca Diri)
Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA)
BNPT dalam isu terorisme kembali membuat forum untuk mencari simpati dari negara-negara sahabat. Langkah ini tampak saat Ansyaad Mbai (Kepala BNPT) mengkomunikasikan dihadapan sekitar 150 orang dari negara sahabat dalam sebuah acara briefing tentang terorisme di Indonesia bertempat di Shangrila Hotel, Jakarta, Senin (27/5/2013) dari jam 09.00-13.00 wib.
Bagi saya yang menarik adalah statemen Mbai dengan menempatkan konflik di Suriah berpotensi menjadi pemicu aksi teror di Indonesia.
Di media online dengan tegas Ansyaad menyatakan;”…pemicu aksi teror di Indonesia saat ini sebetulnya tidak semuanya berasal dari isu-isu sensitif dalam negeri, seperti pemilu 2014. Namun aksi internasional yang bersinggungan dengan kelompok terorislah yang dijadikan alasan.
“Bisa-bisa masalah di Suriah, penguasa Syiah yang memberontak mayoritas Suni, itu bisa diangkat jadi isu mereka dijadikan alasan mereka di sini. Dan bibit-bibit itu ada, seperti di sini itu ada di Sampang. Jadi semua gampang sekali picu aksi mereka,” beber Ansyaad.(Liputan6.com;27/05/2013 15:54)
Dalam tulisan ini (dari elaborasi CIIA) saya ingin mengajak masyarakat belajar tentang fakta dan makna teror/teroris dari kasus Pilkada di Buton Utara-Sulawesi Tenggara dimana istri Kepala BNPT Ansyaad Mbai di duga kuat terlibat bahkan menjadi aktor intelektual aksi-aksi teror paska kekalahan Pilkada.Dalang Aksi Teror
Tanggal 25 Juni 2011 tahun lalu merupakan hari kelam bagi masyarakat Buton Utara (Butur). Saat itu terjadi kerusuhan hingga pembakaran Kantor Bupati dan kantor DPRD Butur yang dilakukan sekelompok massa pro wilayah Buranga.
Bukan itu saja, mobil pemadam kebakaran yang seyogyanya ingin memadamkan api, justru ikut dibakar massa.
Beberapa hari sebelumnya, massa pro Buranga itu juga membakar mobil dinas Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) di Desa Ronta Kecamatan Bonegunu.
Harusnya pembakaran fasilitas negara yang dibangun dengan uang rakyat itu tidak terjadi, andai saja aparat kepolisian bertindak tegas. Apalagi massa yang melakukan pembakaran sejumlah kantor itu hanya berjumlah 100 orang
Istri Ansyaad Mbai, diduga kuat aktor intelektual Aksi-Aksi Teror paskah kekalahan PILKADA
Timbul pertanyaan, siapa aktor dibalik itu, yang mampu “menjinakan” aparat kepolisian? Bahkan, aparat berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) pun dalam hal ini Kapolres Muna dibuat tidak berk
Kejadian itu menimbulkan kecurigaan masyarakat banyak dan dari berbagai pihak yang fokus mengamati kasus ini. Dan kesimpulannya mengarah kepada mantan calon Bupati Butur, Hj. Sumarni Ansyaad Mbai sebagai “aktor intelektual”.
Hal itu sangat beralasan, karena ada indikasi kuat; usai melakukan aksi pembakaran, sekelompok massa itu berkumpul di kediaman Hj. Sumarni di Kelurahan Bangkudu, Kecamatan Kulisusu.
Ada dugaan anak dr ketua BNPT Ansyaad Mbai sebagai makelar pengadaan di BNPT Proyek2 pengadaan di BNPT juga dimakelarin oleh DB (Dewinta Barbie). Sdh terkenal sbg broker pengadaan di TNI dan Polri.utik selaku penanggung jawab keamanan di wilayah Butur.Inggris nyumbang perangkat internet dan IT gratis untuk BNPT. Namun olh pejabat2 dibebankan ke APBN .Ada pengeluaran Rp 18M utk operasi intelijen fiktif dana BNPT yg duitnya disetujui oleh Sesmenko Polkam.
Mengapa Ansyaad Mbai msh maen2 proyek di BNPT? Ini krn dia banyak utang utk membiayai istrinya nyalon jd bupati buton, namun kalah.
Citra Polisi yang Jauh dari Kepentingan Masyarakat
Inseden 25 Juni 2011 lalu bukan
hanya pembakaran sejumlah
fasilitas negara, tetapi juga
terjadi “perang” antar
kelompok pendukung Buranga
dan masyarakat Kulisusu. “Perang” itu terjadi hanya
beberapa meter dari Kantor
Polsek Kulisusu.
Perang antar kelompok ini
dilakukan dihadapan aparat
kepolisian berlangsung sekitar
dua jam. Senjata yang digunakan
beraneka ragam, seperti busur,
bambu runcing, batu dan pedang serta benda-benda tajam lainnya.
Malah aparat terkesan ada
“keberpihakan”, ini terlihat
saat iring-iringan kendaraan
sekelompok massa itu menuju
Kecamatan Kulisusu. Tidak ada
upaya aparat kepolisian untuk menghalau massa, padahal jarak
antara Buranga ke Kulisusu
sekitar 60 kilo meter. Lagi pula
ada tiga Polsek yang mesti dilalui,
yakni Polsek Bonegunu, Kulisusu
Barat dan Kulisusu. Timbul pertanyaan, siapa aktor
dibalik itu, yang mampu
“menjinakan” aparat
kepolisian? Bahkan, aparat
berpangkat Ajun Komisaris Besar
Polisi (AKBP) pun dalam hal ini Kapolres Muna dibuat tidak
berkutik selaku penanggung
jawab keamanan di wilayah
Butur. AKBP R Wawan Irawan SH,
kepada sejumlah wartawan
mengakui saat terjadi aksi
pembakaran kantor Bupati Butur,
aparat kepolisian ada ditempat.
Jelas pernyataan itu melukai perasaan masyarakat Butur.
Harusnya, aparat kepolisian bisa
menciptakan rasa aman di
tengah-tengah masyarakat dan
melindungi fasilitas negara, justru
hanya menjadi penonton kerusuhan.
Dalam aturan baru
(2010) untuk polisi yakni protap
tembak di tempat, berbagai perilaku kekerasan dan kesewenang-
wenangan, protap baru (tembak
di tempat) ini malah
menempatkan polri sebagai
institusi kekerasan berstatus
resmi.
“Ini tidak sesuai dengan
slogan polisi masyarakat. pada
kenyataannya, polisi semakin
terpisah dan anti terhadap
masyarakat.
Copot Polisi Kristen Pembantai Umat Islam .
Yusniar, Perempuan Petani Tewas Ditembak Aparat Brimob Kepolisian
Korban Penembakan
Maaf Pak Polisi, Kami Belum [Bisa] Percaya Kalian!!!
Apa yang harus dilakukan Polri?
Sama sekali rakyat tidak percaya kepada
polisi. rakyat tidak percaya. Rakyat satu suara: Anda penipu. Ini
terlihat dari argumen-argumen yang keluar dari mulut mereka. Sangat
jelas bahwa semua itu rekayasa dan rasionalisasi.
Apa yang dilakukan oleh para petinggi
Polri ini jelas-jelas merusak citra institusi polisi itu sendiri. Amat
sangat disayangkan bahwa citra polisi yang sudah rusak dan jelek di mata
masyarakat malah justru semakin dirusak lagi. Dan ironisnya, yang
merusakkan citranya itu adalah polisi sendiri. Tingkat kepercayaan
masyarakat pada polisi semakin terjun bebas.
Dan disayangkan juga bahwa polisi
sepertinya tidak menyadari hal ini. Malah mereka sibuk membela diri dan
membuat argumentasi yang konyol dan bodoh. Mereka berpikir bahwa rakyat
Indonesia masih bodoh dan mudah dibodohi.
Sikap membela diri dengan argumentasi
konyol dan bodoh juga terlihat dari komentar-komentar pengamat dan
pembela polisi, seperti Bapak SisnoAdiwinoto. Apa yang sering
dilontarkannya, baik di media cetak maupun di media eletronik,
jelas-jelas membuat dirinya bukan sekedar pembela polisi, melainkan
sebagai penjilat polisi..